HKI
/ HaKI adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka.
Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah
pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. HAKI adalah hak yang berasal
dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang
diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki
manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai
ekonomis.
Jenis Jenis HaKI antara lain :
1. Hak Cipta (Copyright)
Hak cipta adalah hak dari pembuat sebuah ciptaan
terhadap ciptaannya dan salinannya. Pembuat sebuah ciptaan memiliki hak penuh
terhadap ciptaannya tersebut serta salinan dari ciptaannya tersebut. Hak-hak
tersebut misalnya adalah hak-hak untuk membuat salinan dari ciptaannya
tersebut, hak untuk membuat produk derivatif, dan hak-hak untuk menyerahkan
hak-hak tersebut ke pihak lain. Hak cipta berlaku seketika setelah ciptaan
tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu.
2. Paten (Patent)
Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya,
paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta,
seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak
dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada
paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya
sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.
3. Merk Dagang (Trademark)
Merk dagang digunakan oleh pebisnis untuk
mengidentifikasikan sebuah produk atau layanan. Merk dagang meliputi nama
produk atau layanan, beserta logo, simbol, gambar yang menyertai produk atau
layanan tersebut.
4. Rahasia Dagang (Trade Secret)
Berbeda dari jenis HAKI lainnya, rahasia dagang tidak
dipublikasikan ke publik. Sesuai namanya, rahasia dagang bersifat rahasia.
Rahasia dagang dilindungi selama informasi tersebut tidak ‘dibocorkan’ oleh
pemilik rahasia dagang.
Perkembangan
HaKI di Indonesia
<!--[if !supportLists]-->·
- Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi angota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan
pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur
tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur
tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman
Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan paten luar negeri.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI
mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan
untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku
tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat
dari barang-barang tiruan/bajakan.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris
Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision
1967) berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia
dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian
(reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan
Pasal 28 ayat 1.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU
No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan
Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu,
seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen
sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah
tim khusus di bidang HKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan
tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan
nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI
dan sosialisasi sistem HKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat
penegak hukum dan masyarakat luas.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7
Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32
ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM)
untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang
merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat
menyetujui RUU tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun
1989 oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku
tanggal 1 Agustus 1991.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19
Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan
UU Merek tahun 1961.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI
menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of
Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun
1982, UU Paten 1989 dan UU Merek 1992.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI
yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000
tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS
(Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah
Indonesia mengesahkan UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001
tentang Merek, Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada
pertengahan tahun 2002, disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
<!--[if !supportLists]-->·
<!--[endif]-->Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000
Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun
2004.
Perkembangan HaKI di Dunia
Konsep
hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa
Inggris (secara harafiah
artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan
mesin cetak.
Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg,
proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan
biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga,
kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali
meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat
disalin.
Awalnya,
hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya
cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke
pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada
konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya
cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan
tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright,
yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and
Literary Works ("Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada
tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan
pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak
atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya
derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar